Hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan dikembangkan. Ada nilai sosial, kemanusiaan, solidaritas, kebersamaan, persahabatan yang terus dicari untuk dinikmati dalam nilai-nilai ibadah Ramadhan ini.
Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa Ramadhan yang sudah selayaknya tidak hanya dipahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita saja, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Selain itu, tentunya bagaimana kita merancang langkah-langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, tidak hanya berfiktir untuk menu untuk berbuka puasa dan sahur saja.
Ramadhan adalah bulan penyemangat jiwa. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap umat muslim. Ramadhan sebagai bulan ibadah, harus dapat dimaknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai bulan petunjuk, harus diimplementasikan dengan semangat dalam mengajak kepada jalan yang benar.
Ramadhan sebagai bulan kemenangan, harus dimaknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai bulan ampunan, harus kita hiasi dengan meminta dan memberikan ampunan.
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak kita. Pada waktu kita puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup pintu neraka.
Kita belajar menahan setan supaya tak masuk ke dalam tubuh kita. Salah satu pintu masuk setan ke dalam tubuh kita adalah melalui makan dan minum. Kita tutup pintu-pintu itu pada waktu siang hari. Kita melemahkan setan; membuatnya tak berdaya. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu.
Di dalam tarekat, puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah. Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh panca indera kita. Dalam ilmu kebatinan, ketika kita melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut, dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian.
Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut kita atau puasa bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjing orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, "Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor." Ketika kita tak berpuasa pun, hal itu tidak boleh dilakukan, apalagi ketika kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah setelah meninggalkan pembicaraan tersebut di atas, kita menambah atau memperlebar puasa bicara kita dengan tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Kita tidak berbicara yang tidak berguna. Ciri mukmin yang sejati adalah menghindarkan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya.
Yang dimaksud dengan manfaat di dalam hal ini adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. Perkataan yang tidak membawa kita dekat kepada Allah swt adalah perkataan yang tidak bermanfaat. Hentikanlah perkataan seperti itu di dalam bulan puasa. Sebaiknya kita gantikan obrolan kita dengan memperbanyak dzikrullah, zikir kepada Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar